hidup itu indah

swastyastu.astungkara HYANG WIDHI..saat memulai kehidupan dan seswatu yang berharga yang menciptakan suatu kekaguman dan kegembiraan bahagia selalu ad titik cahaya terang anugrahNYA.terimakasih TUHAN tuntunanmu tak pernah lepas dari semua rencana kehidupan,dibalik pikiran,rasa yang selalu bergulat pada keragu-raguan atopun kepastian yang tak pernah bisa dipahami oleh begitu banyaknya perbedaan.karna gambar kehidupan adalah jejak para pencari keinginan tuk bisa jadikan jalan seterusnya menjadi lebih baik,berguna,berarti dan tertuju pada titik jati diri yang sempurna kelak.pahamilah hidup adalah anugrah terindah,penuh CINTA dan KASIH SAYANG kedamaian..
yang terlihat kadang hanya keributan,kekacauan,kesakitan,dan banyak keluhan mewarnai.itu adalah anugrah.pahamilah!!!! dan percaya hidup takan begitu jauh seperti yang dipikirkan banyak perbedaan.mknai dengan ketulusan dan keikhlasan hari dan hidup akan berlimpah keterangan cahayaNYA .
berbahagialah kita sudah dipercaya oleh BLIAU karna diberi anugrah menjadi umat BLIAU yang beriman..
di kehidupan kelak akan ad jalan harapan menuntunmu kekebahagiaan hati....tulus..

Sabtu, 05 Desember 2009

Sejarah Pura Dalem Ped

Pura Penataran Agung Ped

Semburkan Atmosfer Kekuatan Ratu Gede Nusa


http://www.balipost.co.id/balipostcetaK/2006/6/7/bd1.htm

Di sebuah desa, persisnya di Desa Ped, Sampalan, Nusa Penida, ada sebuah pura yang sangat terkenal di seluruh pelosok Bali. Pura Penataran Agung Ped nama tempat suci itu. Berada sekitar 50 meter sebelah selatan bibir pantai lautan Selat Nusa. Karena pengaruhnya yang sangat luas yakni seluruh pelosok Bali, Pura Penataran Agung Ped disepakati sebagai Pura Kahyangan Jagat. Pura ini selalu dipadati pemedek untuk memohon keselamatan, kesejahteraan, kerahayuan, dan ketenangan. Hingga saat ini, pura ini sangat terkenal sebagai salah satu objek wisata spiritual yang paling diminati.

Pada awalnya, informasi tentang keberadaan Pura Pentaran Agung Ped sangat simpang-siur. Sumber-sumber informasi tentang sejarah pura itu sangat minim, sehingga menimbulkan perdebatan yang lama. Kelompok (Puri Klungkung, Puri Gelgel dan Mangku Rumodja -- Mangku Lingsir) menyebutkan pura itu bernama Pura Pentaran Ped. Yang lainnya, khususnya para balian di Bali, menyebut Pura Dalem Ped.

Seorang penekun spiritual dan penulis buku asal Desa Satra, Klungkung, Dewa Ketut Soma dalam tulisannya tentang Selayang Pandang Pura Ped beranggapan bahwa kedua sebutan dari dua versi yang berbeda itu benar adanya. Menurutnya, yang dimaksudkan adalah Pura Dalem Penataran Ped. Hanya, satu pihak menonjolkan penatarannya. Satu pihak lainnya lebih menonjolkan dalemnya.

Selain itu, beberapa petunjuk yang menyebutkan pura itu pada awalnya bernama Pura Dalem. Dalam buku Sejarah Nusa dan Sejarah Pura Dalem Ped yang ditulis Drs. Wayan Putera Prata menyebutkan Pura Dalem Ped awalnya bernama Pura Dalem Nusa. Penggantian nama itu dilakukan tokoh Puri Klungkung pada zaman I Dewa Agung. Penggantian nama itu setelah Ida Pedanda Abiansemal bersama pepatih dan pengikutnya secara beriringan (mapeed) datang ke Nusa dengan maksud menyaksikan langsung kebenaran informasi atas keberadaan tiga tapel yang sakti di Pura Dalem Nusa.

Saking saktinya, tapel-tapel itu bahkan mampu menyembuhkan berbagai macam penyakit, baik yang diderita manusia maupun tumbuh-tumbuhan. Sebelumnya, Ida Pedanda Abiansemal juga sempat kehilangan tiga buah tapel. Ternyata, begitu menyaksikan tiga tapel yang ada di Pura Dalem Nusa itu adalah tiga tapel yang sempat menghilang dari kediamannya. Namun, Ida Pedanda tidak mengambil kembali tapel-tapel itu dengan catatan warga Nusa menjaga dengan baik dan secara terus-menerus melakukan upacara-upacara sebagaimana mestinya.

Kesaktian tiga tapel itu bukan saja masuk ke telinga Ida Pedanda, tetapi ke seluruh pelosok Bali. Termasuk, warga Subak Sampalan yang saat itu menghadapi serangan hama tanaman seperti tikus, walang sangit dan lainnya. Ketika mendengar kesaktian tiga tapel itu, seorang klian subak diutus untuk menyaksikan tapel tersebut di Pura Dalem Nusa.

Sesampainya di sana, klian subak memohon anugerah agar Subak Sampalan terhindar dari berbagai penyakit yang menyerang tanaman mereka. Permohonan itu terkabul. Tak lama berselang, penyakit tanaman itu pergi jauh dari Subak Sampalan. Hingga akhirnya warga subak bisa menikmati hasil tanaman seperti padi, palawija dan lainnya.

Sesuai kaulnya, warga kemudian menggelar upacara mapeed. Langkah itu diikuti subak-subak lain di sekitar Sampalan. Kabar tentang pelaksanaan upacara mapeed itu terdengar hingga seluruh pelosok Nusa. Sejak saat itulah I Dewa Agung Klungkung mengganti nama Pura Dalem Nusa dengan Pura Dalem Peed (Ped).

Meski demikian, hal itu seolah-olah terbantahkan. Karena seorang tokoh masyarakat Desa Ped, Wayan Sukasta, secara tegas menyatakan bahwa nama sebenarnya dari pura tersebut adalah Pura Penataran Agung Ped. Terbukti dari kepercayaan warga-warga sekitar saat ini. Walaupun ada yang menyebutkan pura itu dengan sebutan Pura Dalem, yang dimaksud bukanlah Pura Dalem yang merupakan bagian dari Tri Kahyangan (Puseh, Dalem dan Bale Agung). Melainkan Dalem untuk sebutan Raja yang berkuasa di Nusa Penida pada zaman itu. Dalem atau Raja dimaksud adalah penguasa sakti Ratu Gede Nusa atau Ratu Gede Mecaling, katanya.

Ada lima lokasi pura yang bersatu pada areal Pura Penataran Agung Ped. Pura Segara, sebagai tempat berstananya Batara Baruna, terletak pada bagian paling utara dekat dengan bibir pantai lautan Selat Nusa. Beberapa meter mengarah ke selatan ada Pura Taman dengan kolam mengitari pelinggih yang ada di dalamnya. Pura ini berfungsi sebagai tempat penyucian.

Mengarah ke baratnya lagi, ada Pura utama yakni Penataran Ratu Gede Mecaling sebagai simbol kesaktian penguasa Nusa pada zamannya. Di sebelah timurnya ada lagi pelebaan Ratu Mas. Terakhir di jaba tengah ada Bale Agung yang merupakan linggih Batara-batara pada waktu ngusaba.

Masing-masing pura dilengkapi pelinggih, bale perantenan dan bangunan-bangunan lain sesuai fungsi pura masing-masing. Selain itu, di posisi jaba ada sebuah wantilan yang sudah berbentuk bangunan balai banjar model daerah Badung yang biasa dipergunakan untuk pertunjukan kesenian.

Seluruh bangunan yang ada di Pura Penataran Agung Ped sudah mengalami perbaikan atau pemugaran. Kecuali benda-benda yang dikeramatkan. Contohnya, dua arca yakni Arca Ratu Gede Mecaling yang ada di Pura Ratu Gede dan Arca Ratu Mas yang ada di Pelebaan Ratu Mas. Kedua arca itu tidak ada yang berani menyentuhnya. Begitu juga bangunan-bangunan keramat lainnya. Kalaupun ada upaya untuk memperbaiki, hal itu dilakukan dengan membuat bangunan serupa di sebelah bangunan yang dikeramatkan tersebut.

Adanya perbaikan-perbaikan yang secara terus-menerus itu, membuat hampir seluruh bangunan yang ada di Pura Penataran Agung Ped terbentuk dengan plesteran-plesteran permanen dari semen dan kapur. Termasuk asagan yang lazimnya terbuat dari bambu yang bersifat darurat, tetapi dibuat permanen dengan plesteran semen. Paling tidak, hal itu telah memunculkan kesan kaku bagi pura yang diempon 18 desa pakraman tersebut. Pengemponnya mulai Desa Kutampi ke barat. Adanya sejumlah bangunan-bangunan pura yang dikeramatkan, berdampak pada lingkungan pura. Atmosfer keramat diyakini sudah tercipta sejak awal keberadaan pura tersebut.

* baliputra
Source : HDnet

Sejarah Pura Samuan Tiga

Maksudnya:
Bila Guna Sattwam bertemu dengan Guna Rajah terang bercahayalah Citta (pikiran) itu. Itulah yang menyebabkan Atman sampai di dorga. Karena Guna Sattwam menyebabkan orang ingin berbuat baik, maka Guna Rajah-lah yang melaksanakan, sampai berhasil mencapai semua kehendak Guna Sattwa itu.

BANYAK para ahli memperkirakan Pura Samuan Tiga tempat bertemunya para tokoh agama Hindu dan tokoh-tokoh pemerintahan saat itu. Pertemuan itu diperkirakan dipimpin oleh Mpu Rajakerta yang juga bergelar Mpu Kuturan. Pertemuan itu berlangsung dipimpin oleh Mpu Rajakerta yang juga bergelar Mpu Kuturan. Pertemuan itu berlangsung pada saat pemerintahan Raja Udayana dengan permaisurinya yang bergelar Gunapriya Dharma.

Banyak pihak yang menduga pertemuan tokoh-tokoh itu di Pura Samuan Tiga untuk menemukan berbagai sekte yang diduga bermasalah satu sama lainnya. Memang menurut penelitian Dr. R. Goris menemukan ada tidak kurang dari sembilan sekte Hindu di Bali. Sekte-sekte tersebut misalnya Sekte Siwa Sidhanta, Siwa Pasupata, Ganapati, Sora, Bhairawa, Waisnawa, Budha, Brahma, dll.

Beberapa ahli arkeologi tidak menemukan data adanya sekte-sekte itu bermusuhan satu dengan yang lainnya. Dalam Lontar Mpu Kuturan menyatakan bahwa Mpu Kuturan mengajarkan pendirian Kahyangan Tiga di setiap desa pakraman di Bali. Kahyangan Tiga itu adalah untuk memuja Tuhan dalam tiga manifestasinya. Pura Desa untuk memuja Tuhan sebagai Dewa Brahma. Di Pura Puseh untuk memuja Dewa Wisnu dan di Pura Dalem untuk memuja Dewa Siwa. Brahma, Wisnu dan Siwa tidak lain adalah Tuhan dalam tiga fungsinya sebagai prencipta, pelindung dan pamralina ciptaan-Nya.

Dalam kitab Bhagawata Purana dinyatakan bahwa Brahma, Wisnu dan Siwa juga disebut Guna Awatara yaitu Tuhan yang dipuja dalam fungsinya untuk menuntun umat manusia mengendalikan Tri Guna. Dewa Wisnu menuntun umat manusia untuk melindungi Guna Sattwam, Dewa Brahma untuk mengendalikan Guna Rajah dan Dewa Siwa menuntun umat manusia untuk mengendalikan Guna Tamah. Manusia akan sukses hidupnya kalau Tri Guna itu terkendali sesuai dengan fungsi dan proporsinya.

Dalam kitab Tattwa Jnyana 10 dinyatakan bahwa kalau Guna Satwam dan Guna Rajah seimbang maka Citta atau alam pikiran akan cerah. Pikiran yang cerah itu akan berfungsi untuk mengarahkan perilaku yang Subha Karma. Perilaku yang Subha Karma itulah yang dapat mewujudkan kehidupan yang bahagia di dunia sekala ini dan menuntun Atman mencapai sorga di alam niskala.

Pertemuan di Pura Samuan Tiga itu bukan untuk mendamaikan sekte-sekte yang bermusuhan, karena memang tidak ada sejarah yang menyatakan bahwa sekte-sekte itu bermusuhan. Pertemuan di Pura Samuan Tiga itu adalah untuk menetapkan suatu kebijaksanaan. Kerajaan untuk mendirikan Kahyangan Tiga sebagai sarana memuja Sang Hyang Tri Murti di setiap desa pakraman di Bali. Dengan pemujaan Tuhan sebagai Sang Hyang Tri Murti umat diharapkan memiliki kemampuan rohani untuk mengendalikan Tri Gunanya. Jika ini dikuasai maka rakyat mampu memiliki kekuatan rohani untuk mengendalikan Tri Gunanya.

Pengendalian Tri Guna itu diajarkan dalam kitab Tattwa Jnyana, Wrehaspati Tattwa dan susastra Hindu lainnya maka masyarakat akan dapat menunjukkan perilaku yang Subha Karma. Pemujaan Tri Murti juga bermakna untuk memohon tuntunan kepada Tuhan agar dapat melakukan Tri Kona dengan sebaik-baiknya. Tri Kona itu adalah menciptakan sesuatu yang patut diciptakan Utpati, memelihara sesuatu yang patut dipelihara Stithi dan melakukan Pralina pada sesuatu yang sepatutnya dipralina. Inilah dinamika hidup semestinya.

Pura Samuan Tiga ini memiliki nilai sejarah yang sangat besar artinya bagi Bali. Di Pura inilah diputuskan suatu kebijaksanaan yang sangat benar dan tepat bagi penataan hidup masyarakat Bali. Hal inilah menyebabkan Pura Samuan Tiga patut selalu diingat untuk menajamkan konsep hidup yang sangat strategis dan universal yang diwariskan oleh Mpu Kuturan.

Di Pura Samuan Tiga terdapat beberapa peninggalan purbakala. Peninggalan tersebut misalnya Arca Durgha Catur Buja yang berbeda dengan Arca Durgha yang lainnya, karena tidak menginjak Mahisa sebagai perwujudan raksasa. Ada Arca Ganesa yang ceritanya terdapat dalam Smaradhana karya Mpu Darmaja.

Sayang arca ini sudah sangat rusak keadaannya. Di samping itu ada Lingga sebagai media pemujaan Siwa dalam konsep Siwa Pasupata. Lingga ini juga simbol pemujaan Tri Murti. Bagian bawah Lingga berbentuk segi empat lambang Brahma, di atasnya segi delapan lambang pemujaan Wisnu dan bagian atas berbentuk bulat panjang lambang Siwa. Pemujaan Tuhan dengan simbol Lingga Yoni untuk memohon kesuburan bumi.

Ada juga arca Lembu Nandini sebagai simbol wahana Dewa Siwa. Lembu juga lambang bumi ini.

Pura Samuan Tiga dibagi menjadi Tiga Mandala. Di Tiga Mandala inilah terdapat 70 pelinggih. Di mandala pertama atau jeroan pura terdapat 26 pelinggih. Pada mandala kedua terdapat 8 pelinggih dan di mandala ketiga terdapat 36 pelinggih. Pelinggih tersebut ada sebagai pelengkap dan ada sebagai pelinggih untuk Dewa Pratistha dan ada untuk Atma Partistha.

Di mandala pertama ada pemujaan untuk Batara di Gunung Agung, ada untuk Ratu Puseh, ada untuk pelinggih Tirtha Empul, ada untuk Ratu Sedahan Atma. Ada Pelinggih Ulun Suwi, Arca Gana, ada pelinggih Ratu Agung Sakti Batara Sagara. Yang juga sangat penting adalah ada pelinggih Pesamuan Agung. Pelinggih ini sebagai simbol Nedunang dan Ngeluwurang berbagai manifestasi Tuhan di Pura Samuan Tiga, terutama saat ada upacara pujawali.

Di mandala kedua dari delapan bangunan ada pelinggih Pengalah Hyang, Ratu Sedahan dan Ngelurah Agung. Di mandala ketiga terdapat beberapa pelinggih penting antara lain Batara Segara, Rambut Sedana, Bale Paselang, Taksu, Uluwatu, Sakenan Sri Sedana, Manjangan Saluwang, Pelinggih Melanting, Palinggih Manik Geni, Kentel Gumi, Batara Tirtha, dll. Banyaknya pelinggih di Pura Samuan Tiga ini sebagai simbol untuk menyatukan berbagai kelompok umat Hindu yang memiliki sistem kerohanian yang berbeda-beda namun hidup untuk saling melengkapi. Upacara Pujawali di Pura Samuan Tiga ini menggunakan perhitungan sasih yaitu setiap Purnama Sasih Kedasa. * I Ketut Gobyah