hidup itu indah

swastyastu.astungkara HYANG WIDHI..saat memulai kehidupan dan seswatu yang berharga yang menciptakan suatu kekaguman dan kegembiraan bahagia selalu ad titik cahaya terang anugrahNYA.terimakasih TUHAN tuntunanmu tak pernah lepas dari semua rencana kehidupan,dibalik pikiran,rasa yang selalu bergulat pada keragu-raguan atopun kepastian yang tak pernah bisa dipahami oleh begitu banyaknya perbedaan.karna gambar kehidupan adalah jejak para pencari keinginan tuk bisa jadikan jalan seterusnya menjadi lebih baik,berguna,berarti dan tertuju pada titik jati diri yang sempurna kelak.pahamilah hidup adalah anugrah terindah,penuh CINTA dan KASIH SAYANG kedamaian..
yang terlihat kadang hanya keributan,kekacauan,kesakitan,dan banyak keluhan mewarnai.itu adalah anugrah.pahamilah!!!! dan percaya hidup takan begitu jauh seperti yang dipikirkan banyak perbedaan.mknai dengan ketulusan dan keikhlasan hari dan hidup akan berlimpah keterangan cahayaNYA .
berbahagialah kita sudah dipercaya oleh BLIAU karna diberi anugrah menjadi umat BLIAU yang beriman..
di kehidupan kelak akan ad jalan harapan menuntunmu kekebahagiaan hati....tulus..

Sabtu, 05 Desember 2009

Sejarah Pura Samuan Tiga

Maksudnya:
Bila Guna Sattwam bertemu dengan Guna Rajah terang bercahayalah Citta (pikiran) itu. Itulah yang menyebabkan Atman sampai di dorga. Karena Guna Sattwam menyebabkan orang ingin berbuat baik, maka Guna Rajah-lah yang melaksanakan, sampai berhasil mencapai semua kehendak Guna Sattwa itu.

BANYAK para ahli memperkirakan Pura Samuan Tiga tempat bertemunya para tokoh agama Hindu dan tokoh-tokoh pemerintahan saat itu. Pertemuan itu diperkirakan dipimpin oleh Mpu Rajakerta yang juga bergelar Mpu Kuturan. Pertemuan itu berlangsung dipimpin oleh Mpu Rajakerta yang juga bergelar Mpu Kuturan. Pertemuan itu berlangsung pada saat pemerintahan Raja Udayana dengan permaisurinya yang bergelar Gunapriya Dharma.

Banyak pihak yang menduga pertemuan tokoh-tokoh itu di Pura Samuan Tiga untuk menemukan berbagai sekte yang diduga bermasalah satu sama lainnya. Memang menurut penelitian Dr. R. Goris menemukan ada tidak kurang dari sembilan sekte Hindu di Bali. Sekte-sekte tersebut misalnya Sekte Siwa Sidhanta, Siwa Pasupata, Ganapati, Sora, Bhairawa, Waisnawa, Budha, Brahma, dll.

Beberapa ahli arkeologi tidak menemukan data adanya sekte-sekte itu bermusuhan satu dengan yang lainnya. Dalam Lontar Mpu Kuturan menyatakan bahwa Mpu Kuturan mengajarkan pendirian Kahyangan Tiga di setiap desa pakraman di Bali. Kahyangan Tiga itu adalah untuk memuja Tuhan dalam tiga manifestasinya. Pura Desa untuk memuja Tuhan sebagai Dewa Brahma. Di Pura Puseh untuk memuja Dewa Wisnu dan di Pura Dalem untuk memuja Dewa Siwa. Brahma, Wisnu dan Siwa tidak lain adalah Tuhan dalam tiga fungsinya sebagai prencipta, pelindung dan pamralina ciptaan-Nya.

Dalam kitab Bhagawata Purana dinyatakan bahwa Brahma, Wisnu dan Siwa juga disebut Guna Awatara yaitu Tuhan yang dipuja dalam fungsinya untuk menuntun umat manusia mengendalikan Tri Guna. Dewa Wisnu menuntun umat manusia untuk melindungi Guna Sattwam, Dewa Brahma untuk mengendalikan Guna Rajah dan Dewa Siwa menuntun umat manusia untuk mengendalikan Guna Tamah. Manusia akan sukses hidupnya kalau Tri Guna itu terkendali sesuai dengan fungsi dan proporsinya.

Dalam kitab Tattwa Jnyana 10 dinyatakan bahwa kalau Guna Satwam dan Guna Rajah seimbang maka Citta atau alam pikiran akan cerah. Pikiran yang cerah itu akan berfungsi untuk mengarahkan perilaku yang Subha Karma. Perilaku yang Subha Karma itulah yang dapat mewujudkan kehidupan yang bahagia di dunia sekala ini dan menuntun Atman mencapai sorga di alam niskala.

Pertemuan di Pura Samuan Tiga itu bukan untuk mendamaikan sekte-sekte yang bermusuhan, karena memang tidak ada sejarah yang menyatakan bahwa sekte-sekte itu bermusuhan. Pertemuan di Pura Samuan Tiga itu adalah untuk menetapkan suatu kebijaksanaan. Kerajaan untuk mendirikan Kahyangan Tiga sebagai sarana memuja Sang Hyang Tri Murti di setiap desa pakraman di Bali. Dengan pemujaan Tuhan sebagai Sang Hyang Tri Murti umat diharapkan memiliki kemampuan rohani untuk mengendalikan Tri Gunanya. Jika ini dikuasai maka rakyat mampu memiliki kekuatan rohani untuk mengendalikan Tri Gunanya.

Pengendalian Tri Guna itu diajarkan dalam kitab Tattwa Jnyana, Wrehaspati Tattwa dan susastra Hindu lainnya maka masyarakat akan dapat menunjukkan perilaku yang Subha Karma. Pemujaan Tri Murti juga bermakna untuk memohon tuntunan kepada Tuhan agar dapat melakukan Tri Kona dengan sebaik-baiknya. Tri Kona itu adalah menciptakan sesuatu yang patut diciptakan Utpati, memelihara sesuatu yang patut dipelihara Stithi dan melakukan Pralina pada sesuatu yang sepatutnya dipralina. Inilah dinamika hidup semestinya.

Pura Samuan Tiga ini memiliki nilai sejarah yang sangat besar artinya bagi Bali. Di Pura inilah diputuskan suatu kebijaksanaan yang sangat benar dan tepat bagi penataan hidup masyarakat Bali. Hal inilah menyebabkan Pura Samuan Tiga patut selalu diingat untuk menajamkan konsep hidup yang sangat strategis dan universal yang diwariskan oleh Mpu Kuturan.

Di Pura Samuan Tiga terdapat beberapa peninggalan purbakala. Peninggalan tersebut misalnya Arca Durgha Catur Buja yang berbeda dengan Arca Durgha yang lainnya, karena tidak menginjak Mahisa sebagai perwujudan raksasa. Ada Arca Ganesa yang ceritanya terdapat dalam Smaradhana karya Mpu Darmaja.

Sayang arca ini sudah sangat rusak keadaannya. Di samping itu ada Lingga sebagai media pemujaan Siwa dalam konsep Siwa Pasupata. Lingga ini juga simbol pemujaan Tri Murti. Bagian bawah Lingga berbentuk segi empat lambang Brahma, di atasnya segi delapan lambang pemujaan Wisnu dan bagian atas berbentuk bulat panjang lambang Siwa. Pemujaan Tuhan dengan simbol Lingga Yoni untuk memohon kesuburan bumi.

Ada juga arca Lembu Nandini sebagai simbol wahana Dewa Siwa. Lembu juga lambang bumi ini.

Pura Samuan Tiga dibagi menjadi Tiga Mandala. Di Tiga Mandala inilah terdapat 70 pelinggih. Di mandala pertama atau jeroan pura terdapat 26 pelinggih. Pada mandala kedua terdapat 8 pelinggih dan di mandala ketiga terdapat 36 pelinggih. Pelinggih tersebut ada sebagai pelengkap dan ada sebagai pelinggih untuk Dewa Pratistha dan ada untuk Atma Partistha.

Di mandala pertama ada pemujaan untuk Batara di Gunung Agung, ada untuk Ratu Puseh, ada untuk pelinggih Tirtha Empul, ada untuk Ratu Sedahan Atma. Ada Pelinggih Ulun Suwi, Arca Gana, ada pelinggih Ratu Agung Sakti Batara Sagara. Yang juga sangat penting adalah ada pelinggih Pesamuan Agung. Pelinggih ini sebagai simbol Nedunang dan Ngeluwurang berbagai manifestasi Tuhan di Pura Samuan Tiga, terutama saat ada upacara pujawali.

Di mandala kedua dari delapan bangunan ada pelinggih Pengalah Hyang, Ratu Sedahan dan Ngelurah Agung. Di mandala ketiga terdapat beberapa pelinggih penting antara lain Batara Segara, Rambut Sedana, Bale Paselang, Taksu, Uluwatu, Sakenan Sri Sedana, Manjangan Saluwang, Pelinggih Melanting, Palinggih Manik Geni, Kentel Gumi, Batara Tirtha, dll. Banyaknya pelinggih di Pura Samuan Tiga ini sebagai simbol untuk menyatukan berbagai kelompok umat Hindu yang memiliki sistem kerohanian yang berbeda-beda namun hidup untuk saling melengkapi. Upacara Pujawali di Pura Samuan Tiga ini menggunakan perhitungan sasih yaitu setiap Purnama Sasih Kedasa. * I Ketut Gobyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar